Begitulah dinginnya deru angin di
malam hari
tak bisa di
rasa tanpa menyentuh dengan jemari
seperti ujung
hijab ku yang mengusap pipi
halus, tanpa duka, tanpa nestapa birahi
sementara hati
ini bergerak derak, seakan meledak
kurasa muntahan
magma mulai gemuruh
dan rindu pun
menyulut api yang bergairah
dengan lidahnya
menjilat dan membakar jiwa yang rata
mendidih semua
cerita kasih
berbuih bagai
ombak di bibir pantai
seakan berkata,
“inilah amarah dari aliran cintaku”
wahai bintang..
dimana kerlipmu
yang menawan
seluruh langit
yang terpandang, hanya gumpalan awan
yang berarak
dan bersemak, membendung semua jarak
kala
menyongsong mimpi yang memohon syahdu
sudilah turun
engkau sejenak,
lepaskan semua
gemerlap kemilau di tubuhku
dekaplah lah daku hingga terlelap
ku duduk
berhadap cermin, yang kosong tak bertuan
harum melati
yang kau tabur, masih tersisa di sudut kasur
melati rindu,
seperti lentera langit yang terangi sepi
jiwaku jatuh, terpelanting ke dalam api
cahaya nya bergelora,
menjuluran lidahnya yang membuatku
menggigil sunyi
oh.. biarkan
niat ku meleleh dalam hasratmu
anganku
berputar terhirup di maksudmu
malam masih
menyala merah
seribu bintang
merintih dalam hawa
di pecah belah
semangat rindu talu
bulan membiru
di cumbu desah tiada kisah
membujuk garis
dalam takdir yang terlanjur hadir
oh
para prajurit
yang bergerak selurus angin
mereka di rumah
kau tinggal dalam sedanau doa
ikhlas dari
pelita sutra dalam hatinya
air mata yang
tumpah, wangi beraroma syurga
yang selalu
tersaji dalam setiap pelukan senja
senyum tetap ku terangkai bagai janji suci bunga teratai
di akhir masa,
pada gerimis langit
tumpahlah semua
segala rahasia,
yang dulu peram
dalam rahim yang bercahaya
lebur bersama
di antara ada dan makna
cinta tetap
bersisa, yang datang dari arah nirwana